Selasa, 08 Oktober 2013

PEPER TRIHITAKARANA


Peper 

TRIHITAKARANA


PENDAHULUAN
Mpu Kuturan yang datang di Bali pada abad ke-11 atas permintaan Raja Udayana dan Gunapriadharmapatni tidak hanya berhasil menyatukan berbagai sekte agama Hindu yang ada ketika itu dalam wadah kepercayan Trimurti, tetapi juga telah meletakkan dasar-dasar kehidupan sosial religius dalam bentuk tatanan Desa Pakraman.
Desa Pakraman yang merupakan komunitas Hindu-Bali dibangun dengan kepercayaan Trimurti di mana Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Brahma, Siwa, dan Wisnu distanakan di Pura Desa untuk Brahma, Pura Dalem untuk Siwa, dan Pura Segara atau Pura Puseh untuk Wisnu. Ketiga Pura ini dikenal sebagai Trikahyangan.
Atas dasar itu dikembangkan pula konsep Trihitakarana yang mengambil peranan manusia sebagai sentral atau penentu terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan.
Trihitakarana bermakna sebagai tiga hal yang mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan yakni Parhyangan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan; Pawongan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia; dan Palemahan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan alam.
Kaitan Trihitakarana dengan falsafah Trimurti, Trikahyangan, dan Trikayaparisudha, adalah: untuk mencapai tujuan hidup yang sejahtera lahir dan bathin (mokshartam jagaditaya ca iti dharmah), manusia hendaknya mampu melaksanakan Trikayaparisudha: pikiran yang baik, perkataan yang baik dan benar, dan perbuatan yang baik.
Semuanya berpedoman pada Trihitakarana dengan Trimurti sebagai keyakinan utama (srada) yakni dalam wujud pemujaan Ida Sanghyang Widhi sebagai Siwa yang berstana di Pura Dalem untuk implementasi Parhyangan, Pura Desa selain sebagai stana Brahma juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan tata kemasyarakatan (Pawongan), dan Pura Segara atau pura Puseh selain sebagai stana Wisnu juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan alam (Palemahan).
Bali yang sejak abad ke-11 ditata dengan konsep-konsep Mpu Kuturan seperti itu berhasil mencapai zaman keemasan yang memuncak pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong (1460 – 1550).
Sebagai rasa bhakti dan terima kasih atas jasa-jasa Mpu Kuturan yang telah menata kehidupan rakyat Bali, maka di setiap Pura dan Sanggah Pamerajan dibangunlah pelinggih Manjangan Saluwang sebagai stana dan pemujaan pada Mpu Kuturan.
TRIHITAKARANA DALAM PERKEMBANGAN PERADABAN MANUSIA
Trihitakarana telah diaplikasikan di seluruh dunia, dalam berbagai bentuk aktivitas baik oleh perorangan, kelompok, negara bahkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa. Tentu saja tidak menggunakan istilah bakunya: Trihitakarana. Tetapi yang penting bahwa manusia sedunia telah menyadari bahwa kebenaran konsep itu telah terbukti.
Demikianlah berbagai contoh dapat dikemukakan, misalnya manusia tak akan hidup tentram bila keyakinan akan adanya kemahakuasaan Tuhan, goyah; manusia juga tidak akan merasa tenteram – damai bila terjadi konflik antar umat manusia baik dalam bentuk peperangan maupun aksi-aksi teror; manusia juga menyadari bahwa apabila ia merusak alam maka ia akan menjadi korban bencana alam.
Berbagai organisasi tingkat regional, nasional, dan internasional telah dibentuk untuk mewujudkan Trihitakarana baik secara keseluruhan maupun sektoral. Kita mengenal adanya WHO, Red Cross, Green Peace, Dewan Keamanan PBB, Pasukan perdamaian PBB, dll.
Trihitakarana dalam aplikasinya oleh penduduk non Hindu-Bali, berdiri sendiri-sendiri, dalam artian tidak berkaitan dengan konsep-konsep lainnya seperti yang disebutkan di atas, yaitu Trimurti, Tri Kahyangan, dan Trikayaparisudha.
Banyak pertanyaan yang bisa timbul karena ketidakterkaitan itu. Ini disebabkan karena setiap unsur Trihitakarana ciptaan Mpu Kuturan terjalin dan terkait satu dengan lain. Misalnya kiprah manusia untuk menjaga kelestarian alam haruslah didasarkan pada rasa bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi, dengan tujuan pencapaian kesejahteraan bagi sesama krama Desa Pakraman.
Dalam aplikasi Trihitakarana secara global, belum tentu unsur-unsurnya berkaitan erat seperti itu. Misalnya kelompok pencinta penyu, melindungi populasi penyu agar tidak punah, tetapi perlu ditanyakan, apakah kegiatannya itu didasari oleh rasa bhakti kepada Tuhan YME, serta untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia ?
TRIHITAKARANA, KAITANNYA DENGAN PANCA MAHABHUTA
Dalam Lontar “Buana Kosa” disebutkan bahwa tubuh manusia diciptakan oleh Yang Maha Esa dari unsur-unsur alam semesta yang disebut panca mahabhuta, yaitu: pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa.
Oleh karena itu pengertian panca mahabhuta ada dua, yakni panca mahabhuta yang berbentuk tubuh manusia disebut buana alit, dan panca mahabhuta yang berbentuk alam semesta disebut buana agung.
Analogi pemikiran Mpu Kuturan adalah: tubuh manusia sebagai stana sanghyang atma (Brahman) adalah sakral dan wajib dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian maka alam semesta juga wajib dijaga dan dipelihara, karena tubuh manusia (buana alit) adalah juga alam semesta (buana agung).
TRIHITAKARANA, KAITANNYA DENGAN “NYEPI”
Nyepi yang dilaksanakan oleh pemeluk Hindu-Bali setiap penanggal ping pisan sasih kadasa (tanggal satu bulan ke-10 menurut kalender Saka-Bali) dalam rangka merayakan tahun baru Saka, adalah salah satu pelaksanaan Trihitakarana.
Sehari sebelum Nyepi dilaksanakan upacara tawur kasanga (bhuta yadnya pada akhir bulan ke-9). Bhuta Yadnya dalam kaitan ini berarti “korban yang diadakan untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan alam”.
Pada saat Nyepi, umat Hindu-Bali melaksanakan catur berata (empat pantangan), yaitu:
1.    Amati karya (tidak bekerja)
2.    Amati gni (tidak menyalakan api atau membakar sesuatu)
3.    Amati lelungaan (tidak bepergian)
4.    Amati lelanguan (tidak menghibur diri atau bersenang-senang)
Dengan demikian, aplikasi Trihitakarana dalam perayaan Nyepi terlihat dengan jelas, baik dari aspek parhyangan, pawongan, maupun palemahan:
1.    Aspek parhyangan terlihat di saat Nyepi, umat Hindu-Bali melakukan samadi, dan bersembahyang memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi.
2.    Aspek pawongan terlihat adanya kegiatan dharma santih, yakni saling berkunjung dan bermaaf-maafan.
3.    Aspek palemahan terlihat dari tujuan tawur kesanga seperti yang diuraikan di atas, dan dengan adanya catur berata, manusia tidak mengotori udara dengan gas-gas buangan hasil pembakaran atau dikenal dengan istilah emisi gas rumah kaca.
TRIHITAKARANA, RELEVANSINYA PADA ANTISIPASI WORLD CLIMATE CHANGE
Dengan dasar uraian di atas maka aplikasi Trihitakarana yang bertitik sentral pada manusia patutlah dilaksanakan secara serentak mencakup ketiga unsur yang tak terpisahkan, yaitu: Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Upaya manusia untuk menjaga kelestarian alam (palemahan) tidak mungkin dapat terwujud dengan baik bila ia melupakan bhakti kepada Tuhan (parhyangan), dan tidak menebarkan cinta kasih kepada sesama umat manusia (pawongan).
Oleh karena umat manusia sedunia heterogen dalam artian memeluk berbagai agama dan kepercayaan, maka konsep Trihitakarana dapat saja disesuaikan dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Kitab suci dari berbagai agama mungkin saja telah menyebutkan hal itu, atau mungkin lebih tegas lagi bahwa: Bila manusia merusak alam atau lingkungan, maka alam-pun akan menghancurkan manusia. Ini adalah hubungan sebab – akibat yang sangat logis, dengan mencari berbagai contoh bencana-bencana alam yang disebabkan karena ulah manusia.
Perubahan iklim dunia (World climate change) bersumber pada perusakan alam oleh teknologi modern manusia. Alam yang dimaksud, adalah alam semesta meliputi daratan, lautan, angkasa, dan atmosfir. Perusakan daratan terjadi karena pertambahan penduduk dunia yang mengakibatkan berkurangnya daerah hijauan hutan dan tanaman.
Pencemaran laut dan sumber air lainnya karena pencemaran limbah industri atau hunian. Pencemaran angkasa karena polusi udara sebagai dampak kemajuan teknologi. Pencemaran atmosfir karena penggunaan atmosfir sebagai daerah tak bertuan, untuk berbagai keperluan komunikasi atau proyek-proyek luar angkasa.
Nampaknya terjadi dua hal pokok yang kontroversial, yaitu tuntutan kemajuan teknologi di satu pihak, dengan kelestarian alam di pihak lain.
SOLUSI
World Climate Change sebagai dampak dari global warming dapat diatasi bila:
1. Ada persepsi yang sama dari negara-negara sedunia, bahwa Trihitakarana, unsur-unsurnya tidak dapat dijalankan secara terpisah, melainkan harus secara bersama-sama dengan dasar keyakinan pokok pada kepercayaan pada Tuhan YME.
Trihitakarana diyakini bertujuan untuk kesejahteraan umat manusia. Sangat ideal bila bangsa-bangsa di dunia dapat menerima Nyepi sebagai salah satu upaya melestarikan alam semesta; bila demikian mungkin UNFCCC/ PBB bisa mencanangkan satu hari dalam setahun, di mana semua penduduk dunia serentak melakukan “A silent day”.
Kami mengusulkan tanggal itu: 23 September, karena pada saat itu siklus peredaran matahari sedang menuju ke garis lintang selatan, atau di Bali dikenal dengan istilah daksinayana.
2. Setiap negara merencanakan batasan-batasan penggunaan sumber-sumber alam untuk kepentingan teknologi – industri
3. Setiap negara merencanakan program pemeliharaan alam – lingkungan dengan efektif dan realistis.
4. UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yakni sebuah badan khusus PBB yang menangani masalah perubahan iklim agar menyusun rumusan yang jelas dan aplicable tentang upaya-upaya yang wajib dilakukan oleh setiap negara di dunia dalam melindungi kelestarian alamnya masing-masing.
PBB tidak memberikan peluang kepada negara mana pun untuk menghindar dari kewajiban melestarikan alam dengan dalih demi pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan upaya lainnya yang disebut sebagai “Emission trading”
5. UNFCCC mengenakan sangsi yang tegas kepada negara yang melanggar konvensi perlindungan kelestarian alam seperti yang sudah disepakati pada butir 4 di atas.
Singaraja, 18 Oktober, 2007
Kepustakaan:
1.    Pendalaman Srada bagi generasi muda Hindu se – Bali. Materi pelajaran, kerjasama Pemda Bali dengan DPD Tk.I Bali Peradah Indonesia.
2.    Buana Kosa (Brahma Rahasyam), Upada Sastra, 1994
3.    Kusuma Dewa (Lontar)
4.    Tutur Kuturan (Lontar)
5.    Silsilah orang suci dan orang besar di Bali. Sri Reshi Anandakusuma, Guna Agung Denpasar, 1989
6.    Climate Change Science, http://unfccc.int

Tidak ada komentar:

Posting Komentar